Judul Buku: Shahih Sirah Nabawiyah Tebal Halaman: 745 hlm Format: Pdf Penulis: DR. Akram Dhiya' Al-Umuri Selamat siang para blogger mania, setelah lama tidak pernah membuat postingan terbaru kali ini admin Dunia El Hikam ingin berbagi sebuah buku biografi Nabi Muhammad SAW atau lebih dikenal dengan kitab Shirah Nabawiyyah karangan dari ulama' DR. Akram Dhiya' Al-Umuri. Berisi perjalanan hidup Sang Pelita Agung Rasulullah SAW mulai dari kelahiran, kemudian diangkatnya beliau sebagai Rasul yang terakhir, hingga kewafatannya yang yang menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi seluruh umat islam. Mudah-mudahan dapat menambah kecintaan kita terhadap beliau sehingga kita mendapat syafaatnya dan berkumpul bersamanya kelak di Akhirat nanti, Aamiin. Silahkan klik link di bawah ini untuk mendownload buku ini.
Buku sirah nabi muhammad pdf. Sirah kelahiran nabi muhammad pdf Muhammad was the perfect role model for all time a model of Truthfulness. Sirah muhammad pdf. SIRAH NABI MUHAMMAD S.A.W. PENGAJARAN & PEDOMAN *** Dr. Mustafa as-Syibaie ***.
Para sahabat sangat mencintai dan menghormati Nabi Muhammad SAW, mereka dapat menjaga sikap dan ahklak di hadapan Rosululloh SAW. Namun ada salah seorang sahabat bernama Nu’man bin Amru. Seluruh penduduk kota Madinah mengenal betul siapa Nu’man bin Amru. Pribadinya yang konyol suka bercanda dan mengerjai orang. Kadang bercandanya Nu’man sangat keterlaluan. Para sahabat sudah sering dikerjai oleh kekonyolan Nu’man ini.
Bahkan Rosulullohpun diperlakukan dengan tidak hormat oleh Nu’man. Bedanya kalau para sahabat marah begitu dirinya dikerjai oleh kekonyolan Nu’man namun Rosululloh Saw tidak pernah marah akan perlakukan Nu’man tersebut. Berulangkali para sahabat menasehati Nu’man agar tidak berbuat konyol kepada Rosululloh, karena Rosululloh adalah kekasih Alloh yang harus dihormati dan di muiakan.
Tetap saja Nu’man selalu melakukan kekonyolan kepada Rosululloh dan sedikitpun nabi tidak marah kepada Nu’man. Bahkan Rosul membimbing Nu’man untuk meninggalkan sikap mengerjai orang. Suatu hari dikota Madinah lewatlah pedagang madu yang menjajakan dagangannya. Sudah beberapa hari ini dagangannya tidak ada yang membeli. Pedagang madu tersebut begitu putus asa bercampur kesal.
Wajahnya terlihat pucat, bajunya lusuh. Melihat hal itu Nu’man merasa ibah hatinya. Nu’man berniat menolongnya untuk membeli madu tersebut namun dia tidak memiliki uang. Akhirnya muncullah sifat kekonyolannya untuk mengerjai seseorang. Dia panggil pedagang madu. ”Pak, sahabatku ingin membeli madu dan itu rumahnya”, sambil menunjuk rumah Rosululloh SAW.
Lalu Nu’man mengetuk pintu rumah Rosullulloh sambil membawa madu. Rosulpun mempersilahkan Numan untuk masuk kedalam. “Ya Rosul ini aku bawakan madu untukmu, sebagai hadiah dariku” kata Nu’man. Setelah memberikan madu tersebut Numan pun pamit untuk pulang. Nu’man lalu menemui pedagang madu tersebut sambil berkata, ”Maaf saya mau pergi dulu ada urusan penting yang harus saya selesaikan, sahabatku sebentar lagi keluar dan membayar madumu”, lalu bergegas pergi.
Setelah sekian lama menunggu pedagang tersebut kesal, dan mengetuk dengan keras rumah Rosululloh SAW sambil berteriak, ”Wahai penghuni rumah, madu saya belum dibayar!!”. Tentu saja Rosululloh kaget mendengar teriakan tersebut. Rosululloh tersenyum dan menyadari bahwa dirinya telah dikerjai oleh Nu’man bin Amru. Lalu Rosulpun memberikan uang pembayaran madu kepada si pedagang madu. Hingga suatu hari Rosululloh bertemu dengan Nu’man bin Amru. Sambil tersenyum menahan tawa Rosul menegur Nu’man, ”Wahai Nu’man apa yang telah kau lakukan pada keluarga Nabi-Mu?”. Dasar Nu’man seorang yang konyol mendengar teguran dari Rosul hanya nyengir dan berkata, ”Ya Rosululloh, saya tahu kau suka sekali madu.
Saya ingin sekali membelikanmu madu dan menghadiahkannya padamu. Tapi waktu iti saya tidak punya uang sama sekali. Jadi saya hanya bisa mengantarkan madu itu ketanganmu. Semoga saya di beri hidayah Alloh atas kebaikan tersebut”, kata Nu’man. Mendengar jawaban sahabatnya yang konyol tersebut, Rosululloh tidak marah bahkan mendo’akannya.
Wallahu’alam bish shawwab. Jakarta, 26 Maret 2018. Diambil dari. Di Kota Syam (Syiria) ada seorang pendeta Yahudi yang sangat membenci Rasulullah Muhammad Saw. Pendeta tersebut mempunyai sebuah kegiatan kerohanian yang diadakan tiap Sabtu, dan dihadiri puluhan ribu jema’at.
Suatu saat ketika ia sedang mempersiapkan materi yang akan diajarkan, ia menemukan sejarah keagungan Nabi Muhammad saw dalam kitab Taurat yang dibacanya. Semula terdapat delapan tempat dimana sejarah Rasulullah tertulis dalam kitab agungnya orang Yahudi itu.
Karena rasa bencinya kepada Rasulullah, ia merobek delapan tempat tersebut. Pada hari Sabtu berikutnya (pekan kedua) di kesempatan yang sama ia menyiapkan materi kitab Taurat yang akan diajarkan kepada murid-muridnya. Ia kembali menemukan keterangan dalam kitab tersebut yang menjelaskan tentang sejarah Rasulullah saw pada 16 tempat dan semuanya itu juga ia robek. Kemudian pada pekan hari Sabtu berikutnya (pekan ketiga) saat ia mempersiapkan materi untuk pengajian kitab Tauratnya, kembali ia menemukan 24 tempat dalam kitab tersebut yang menceritakan tentang Rasulullah saw dan semuanya pun juga dirobeknya.
Namun apa yang telah ia lakukan membuat ia menjadi penasaran ingin bertemu dengan Rasulullah Muhammad saw. Ia berpikir jarak antara daerahnya (Syam) dan Kota Madinah adalah perjalanan selama 30 hari (menggunakan onta), sehingga perjalanan itu harus meninggalkan kegiatan rutinnya paling tidak 8 kali pertemuan. Beberapa orang murid mencoba untuk mengingatkan sang pendeta Yahudi tersebut, “ Sebaiknya tuan pendeta tidak menemui Muhammad, karena siapapun orang yang bertemu dengannya pasti akan tunduk padanya, kalau nanti anda tunduk kepada Muhammad, lalu siapa yang nantinya memimpin kami?”. Mendengar nasehat tersebut pendetapun mengurungkan niatnya pergi ke Madinah untuk menemui Muhammad. Namun karena penasaran, sepekan kemudian sang pendeta kembali mengutarakan keinginannya yang tertunda tersebut. Tapi kembali murid-muridnya melarangnya. Hal tersebut terulang tiga kali.
Hingga akhirnya pendetapun berkata: ” Atas kebesaran Nabi Musa dan Kitab Taurat saya harap kalian memperkenankan saya bertemu Muhammad”. Dan para muridpun akhirnya merelakan pendetanya pergi menemui Nabi besar Muhammad saw. Singkat cerita, berangkatlah sang pendeta ke Madinah. 30 hari kemudian, setiba di pintu gerbang kota, sang pendeta berjumpa seorang lelaki tampan, berkulit putih, berbadan tinggi dan berbaju serba putih. Ia mengira bahwa lelaki itu adalah Muhammad, iapun menyapanya: “Assalamu Alaika yaa Muhammad”. Namun tanpa disangka, lelaki itu tiba-tiba menangis tersedu-sedu begitu mendengar sapaan tersebut.
Si pendeta terheran-heran. Tak lama laki-laki itupun mendekati si pendeta dan menanyakan asal sang pendeta “Anda dari mana?”. “Saya dari tempat yang jauh, dari Syam dan saya ingin bertemu Muhammad” jawab si pendeta.
Mendengar jawaban tersebut, laki-laki itupun segera mengantarkannya ke Masjid Nabawi. Di depan pintu masjid pendeta yang sudah tak sabar lagi bertemu Rasulullah segera mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, Assalamu Alaika Yaa Muhammad”. Seketika semua sahabat yang berada di dalamnya menangis tersedu-sedu. Ia semakin kaget karena setiap ia mengucapkan salam kepada penduduk Madinah mereka langsung menangis. Ketika suasana masjid makin penuh disesaki isak suara tangis, sahabat Ali bin Abi Thalib segera menemuinya dan terjadilah percakapan: Ali ra: “ Anda dari mana?” Pendeta: “ Saya dari tempat yang jauh, kota Syam” Ali ra: “Ada keperluan apa anda kemari?” Pendeta: “Saya ingin bertemu Muhammad”, Ali ra: “ Terlambat! Seminggu yang lalu beliau wafat,” Pendeta (sambil penuh penyesalan): “Kalau begitu saya ingin melihat jubahnya!” Ali ra lalu menyuruh sahabat Bilal bin Rabah untuk mengambilkan jubah Nabi di rumahnya. Sesampai di depan pintu rumah, Bilal berkata “ Wahai Sayyidah Fatimah, ada tamu ingin melihat jubah Rasulullah, saya disuruh sahabat Ali untuk mengambilkan jubah itu untuknya,”. Sayyidah Fatimah segera membuka lemari tempat jubah disimpan.
Putri bungsu Rasulullah itu langsung menangis teringat bau harum tubuh ayahandanya tercinta. Diciuminya jubah tersebut, sebelum beliau berikan kepada Bilal. Bilalpun kemudian menangis sambil membawanya ke masjid Nabawi. Dan begitu Bilal sampai di masjid, semua sahabat yang berada di dalam masjid menangis teringat Rasulullah saw. Setelah Bilal menyerahkan jubah kepada Ali, Ali segera memberikan jubah tersebut kepada sang pendeta, yang segera menciuminya seraya berkata “ Ternyata benar, dialah utusan Allah, beginilah bau harum Nabi Muhammad saw seperti yang disampaikan dalam kitab Taurat!“.
Dan ketika jubah itu ia hamparkan, ia melihat dua belas tambalan pada jubah tersebut, sesuai dengan apa yang diterangkan dalam kitab Taurat. Sang pendetapun makin yakin bahwa orang yang baru seminggu meninggal dan ditangisi semua orang itu adalah Muhammad yang tertulis dalam kitabnya, dan ia adalah utusan Allah. “ Wahai sahabat Ali, bagaimana cara saya bisa masuk Islam?”, tanya pendeta. ” Katakanlah, Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah” jawab Ali, lembut. Sang pendeta segera mengikuti ucapan Ali ra. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim.
“ Wahai sahabat Ali! Aku ingin berziarah makam Rasulullah Muhammad Saw”, pintanya tak lama setelah ia bersyahadat. Ali lalu menyuruh sahabat Bilal untuk mengantarkannya ke makam Rasul. Sesampainya di sana sang bekas pendeta mengangkat kedua tangannya seraya berkata: “ Yaa Allah.! Aku ingin bertemu Nabi Muhammad, namun kini aku sudah terlambat, dan aku ingin agar engkau mempertemukanku dengannya di alam barzakh, mohon matikanlah aku!”. Tiba-tiba iapun terjatuh dan langsung meninggal dunia.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Para sahabat kemudian memakamkan mantan pendeta tersebut di pemakaman Baqi, tak jauh dari masjid Nabawi dimana Nabi yang tadinya dibencinya itu dimakamkan. Begitulah Allah berkehendak memberikan hidayah kepada seorang pendeta Yahudi yang sangat membenci Rasulullah saw, melalui ayat-ayat yang tertulis dalam kitab Taurat. Wallahu’alam bish shawwab. Jakarta, 13 Maret 2017.
Dikutip dari. Suatu pagi Rasulullah mengamati bajunya dengan cermat, bajunya ternyata sudah usang dan perlu diganti, baju yang tidak pernah beristirahat. Meskipun saat itu Rasulullah hanya punya sedikit uang, Nabi Muhammad SAW dengan rida pergi ke pasar dengan hanya berbekal 8 dirham untuk berbelanja.
Di tengah perjalanannya menuju pasar, Rasulullah menemukan seorang wanita yang tengah menangis. Setelah ditanyakan kepada wanita itu kenapa dia menangis, wanita tersebut bilang bahwa dia kehilangan uang yang dia bawa. Mendengar hal itu, Rasulullah memberikan wanita itu uangnya sebanyak dua dirham, dan beliau berhenti sebentar untuk menenangkan wanita itu. Setelah itu, Rasulullah kembali bergegas melanjutkan perjalanannya menuju pasar yang semakin ramai.
Di sepanjang lorong pasar itu banyak sekali masyarakat yang menegur dan menyampaikan salam dengan hormat kepada beliau, beliau juga selalu menjawab dan memberikan mereka salam. Sesampainya di pasar, beliau langsung menuju tempat di mana penjual pakaian berada, lalu dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. Selepas membeli pakaian, di perjalanan pulang beliau bertemu dengan seorang tua yang compang-camping pakaiannya, dan benar-benar tidak layak untuk dikenakan. Orang tua tersebut dengan iba memohon kepada Rasulullah agar diberikan sepotong baju untuk dikenakannya. Rasulullah yang memang berhati lembut dan pengasih itu tidak tahan melihat keadaan orang tua tersebut, lalu diberikannyalah baju yang baru saja beliau beli. Rasulullah kemudian bergegas kembali ke pasar dan membeli sebuah pakaian lagi seharga 2 dirham, tentu saja kualitasnya lebih jelek dan kasar daripada baju sebelumnya.
Namun, Rasulullah tetap pulang dengan gembira membawa pakaian barunya itu. Tidak lama beliau berjalan pulang keluar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi, sekarang wanita itu terlihat kebingungan dan gelisah. Rasulullah lalu menghampirinya, dan bertanya kepada wanita itu. Wanita itu menjawab: “ Ya Rasulullah, hamba merasa takut untuk pulang.
Hamba terlambat pulang dari batas waktu yang majikan hamba berikan, hamba takut majikan hamba akan marah jika hamba pulang nanti.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah lalu menyatakan akan mengantarkannya. Wanita itu kemudian berjalan pulang, dan Rasulullah mengikutinya dari belakang. Hati wanita tersebut merasa tenang karena Rasulullah pasti akan melindungi dirinya. Wanita itu yakin majikannya akan memaafkannya karena kepulangannya, atau bahkan mungkin akan berterima kasih karena membawa kebaikan bersama dengan kedatangan Nabi dan Rasul mereka. Sampailah beliau ke perkampungan kaum Anshar, dan segera menuju rumah majikan wanita tersebut.
“ Assalamu’alaikum warahmatullah ” sapa beliau kepada orang-orang yang berada di rumah tersebut. Namun, mereka semua diam tidak menjawab salam itu padahal mereka mendengarnya.
Sebenarnya hati mereka diliputi rasa bahagia karena mendengar kedatangan Rasulullah, mereka merasa salam Rasulullah adalah berkah, dan mereka masih ingin mendengarkannya lagi. Ketika tidak terdengar jawaban, Rasulullah memberi salam lagi. Namun tetap tidak terdengar jawaban apapun, lalu Rasulullah mengulang salam untuk yang ketiga kalinya dengan suara agak lantang. Terdengar suara serentak menjawab salam beliau: “ Wa’alaikumsalam warahmatullah.”. Rasulullah merasa sangat heran dengan semua itu, beliau kemudian menanyakan pada mereka kenapa sebabnya. Lalu mereka mengatakan: “ Tidak ya Rasulullah. Kami telah mendengar sejak tadi.
Kami memang sengaja, kami ingin mendapat salam lebih banyak.” Kemudian Rasulullah melanjutkan: “ Pembantumu ini mengatakan bahwa dia terlambat pulang, dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerima hukuman sebagai penggantinya.” Mendengar hal itu membuat mereka semua terkejut, kasih sayang serta budi pekerti Rasulullah begitu murni dan indah di hadapan mereka. Beliau ikhlas berjalan cukup jauh hanya untuk mengantarkan seorang hamba sahaya yang takut dimarahi oleh majikannya karena terlambat pulang, bahkan sampai memohonkan maaf baginya.
Karena harunya, mereka pun berkata: “Kami telah memaafkannya, bahkan berniat memerdekakannya saat ini juga. Kedatangannya kemari bersama Anda karena kami semata-mata mengharapkan rida Allah SWT.” Budak itu merasa begitu senang, dan bersyukur atas karunia Allah SWT dan kebebasannya berkat Rasulullah. Setelah urusan tersebut selesai, Rasulullah SAW kemudian pulang dengan hati gembira.
Beliau sibuk memikirkan peristiwa seharian itu, hari yang penuh berkah dan karunia Allah SWT. Rasulullah pun berkata: “ Belum pernah ku temui berkah dan keanehan angka delapan sebagaimana hari ini. Uang delapan dirham yang sedikit ini mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan, serta memerdekakan seorang hamba sahaya”.
Demikianlah kisah keteladannan Nabi Muhammad SAW. Dari kisah keteladanan Nabi di atas, kita diajarkan bagaimana meneladani Rasulullah dalam sikap dan sifat kesederhanaan, pandai bersyukur, mengasihi antara sesama, dan saling membantu meski di saat sulit sekalipun. Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat, sekecil apapun kemampuan yang kita sangka, ternyata bisa membawa manfaat yang besar bagi orang lain, dan tentunya menjadi amalan saleh bagi kita semua. Madinah yang merupakan pusat bermulanya Islam sebelum berkembang ke seluruh dunia di mana ia menjadi tempat kelahiran pertama masyarakat Islam. Oleh itu menjadi suatu kemestian untuk mendapat gambaran yang tepat mengenai kedudukan bandar ini dari segi peradaban, kemasyarakatan, ekonomi, hubungan antara qabilah, markaz Yahudi, ketenteraan dan juga suasana yang menjadikan bandar ini mewah dan kaya serta menjadi pusat pertemuan berbilang agama, pelbagai kebudayaan dan masyarakat. Ia berlainan dengan Mekah yang hanya mempunyai satu tabiat, satu agama yang dikongsi bersama oleh semua warganya.
Madinah lebih banyak terdapat air, iklimnya lebih sejuk daripada Mekah dan tabiat penduduknya lembah-lembut sesuai dengan kehidupan kaum tani. Sebagai ringkasannya maka keadaan dan suasana Yathrib sebelum kedatangan Islam adalah sebagaimana fakta dan gambaran yang akan disebut dibawah. Kaum Yahudi di Madinah Menurut ahli sejarah kedatangan kaum Yahudi ke Yathrib selepas peperangan antara bangsa antara Yahudi dengan Rome pada tahun 70 masihi yang berkesudahan dengan musnahnya Palestin dan runtuhnya Haikal atau biara utama Yahudi di Baitul Maqdis.
Kaum Yahudi ini terdiri dari tiga qabilah yang terbesar iaitu qabilah Qainuqa’, al-Nadhir dan Quraidzah di mana hubungan antar ketiga qabilah tersebut amat tegang di mana berlaku peperangan sesama mereka yang berterusan sejak peperangan Bu’ath. Mereka tinggal di pelbagai perkampungan khas seperti bani Qainuqa’ tinggal dalam bandar Madinah, bani Nadhor tinggal di sebelah atas luar Madinah di mana kawasan mereka subur dengan tanaman kurma dan tanaman bermusim manakala bani Quraidzah pula tinggal di kawasan yang bernama Mahzur yang jaraknya beberapa batu di selatan Madinah. Kaum Yahudi memiliki beberapa kubu dan benteng serta kampung di mana mereka hidup berjauhan dan berkelompok yang menyebabkan mereka tidak mampu mendirikan pemerintahan Yahudi sebaliknya terpaksa membayar upeti setiap tahun kepada ketua-ketua beberapa qabilan Arab sebagai perlindungan dari gangguan Arab badwi. Bangsa Yaudi menyifatkan diri mereka sebagai suatu bangsa yang ahli dalam pengetahuan agama dan syariat di mana mereka mempunyai pusat pengajian sendiri untuk perkara tersebut disamping belajar mengenai sejarah lampau mereka khususnya berkenaan rasul dan nabi mereka. Mereka juga mempunyai tempat khusus untuk beribadat di mana disitulah mereka berkumpul untuk berbincang mengenai agama dan keduniaan mereka.
Mereka juga mempunyai perundangan dan tatacara hidup tersendiri yang sebahagiannya diambil daripada kitab suci mereka dan sebahagian lagi dibuat oleh pendeta mereka. Disamping itu mereka mempunyai hari-hari perayaan tertentu, hari-hari tertentu untuk mereka berpuasa seperti hari ‘Asyura. Hasil pendapatan mereka yang terbesar ialah mengambil keuntungan dari penggadaian barang dan riba. Keadaan Madinah sebagai kawasan pertanian memberi peluang kepada mereka bergiat dengan riba terutama dari petani yang mendapatkan uang sementara menunggu musim menuai. Penggadaian bukan sahaja melibatkan uang atau harta benda sahaja tetapi wanita dan anak-anak juga dijadikan barang gadaian. Kaum Yahudi dapat menguasai ekonomi Madinah dan seterusnya dengan ekonomi yang kukuh mereka menguasai pasar-pasar tanpa bertimbang rasa, mereka menyorok barangan keperluan untuk mengaut keuntungan yang berlipat ganda sehingga mereka dibenci oleh masyarakat Arab setempat.
Demi kepentingan ekonomi mereka membuat hubungan dengan kaum Aus dan Khazraj dengan mengadu-domba keduanya yang menyebabkan bangsa Arab lemah dan kaum Yahudi terus menguasai ekonomi Madinah. Bahasa yang mereka guna ialah bahasa Arab tetapi turut bercampur dengan bahasa Ibrani. Manakala dari segi penyebaran agama Yahudi tidaklah meluas memandangkan mereka tidak berminat mengajak bangsa lain untuk menganut agama Yahudi.
Suku Kaum Aus dan Khazraj Suku kaum Aus dan Khazraj merupakan penduduk berbangsa Arab yang mendiami Yathrib lanjutan daripada qabilah-qabilah al-Azdiyah di Yaman yang berpindah berulangkali dalam masa berbeza disebabkan banyak faktor antaranya kekacauan disebabkan serangan kajum Habshi di Yaman dan juga kemerosotan pengairan apabila robohnya bendungan Ma’rib. Mereka merupakan suku kaum yang mendiami Yathrib kemudian daripada kaum Yahudi.
Kaum Aus tinggal di selatan dan timur iaitu bahagian tinggi Yathrib yang merupakan kawasan pertanian yang subur manakala Kaum Khazraj berada di tengah sebelah utara iaitu bahagian rendah bandar yang merupakan kawasan kurang subur. Jumlah kaum Aus dan Khazraj menurut perkiraan berdasarkan keikut sertaan mereka dalam peperangan setelah hijrah iaitu semasa penaklukan Mekah ialah 4000 orang. Kedudukan kaum Arab di Yathrib di masa hijrah adalah kuat di mana merekalah yang menguasai urusan di situ. Berpecahan kaum yahudi menyebabkan mereka tidak mampu menyaingi bangsa Arab terutama ada daripada mereka yang bersama kaum Aus dan ada pula bersama kaum Khazraj.
Namun begitu bangsa Arab suku Aus dan Khazraj turut berperang sesama mereka di mana perang Samir merupakan peperangan pertama dan diakhiri dengan peperangan Bu’ath lima tahun sebelum hijrah. Kaum Yahudilah yang memanas-manasi mereka dan mendesak agar mereka berpecah dengan menanamkan semangat dengki. Akhirnya mereka tidak mampu menghadapi kaum Yahudi. Namun demikian, akal bulus mereka disadari oleh bangsa Arab di mana mereka men-cap kaum Yahudi sebagai ‘musang’. Kedudukan Geografi Bandar Madinah Yathrib atau Madinah ketika hijrahnya nabi s.a.w ke sana terbahagi kepada beberapa buah daerah yang didiami oleh beberapa keturunan Arab dan Yahudi di mana setiap daerah terbahagi pula kepada dua bahagian iaitu bahagain pertama meliputi tanah pertanian manakala bahagian kedua meliputi benteng dan kubu pertahanan.
Benteng pertahanan ini adalah penting bagi melindungi kaum wanita, anak-anak dan orang-orang lemah ketika diserang oleh musuh. Ia juga dijadikan tempat untuk menyimpan hasil panen dan buahan kerana letak Bandar Yathrib yang terbuka dengan tempat terbuka untuk musuh menyerang dan merampas harta benda dan ia juga dijadikan tempat menyimpan harta dan senjata. Disamping mempunyai biara untuk beribadat dan tempat pengajian di dalamnya, di dalam benteng ini dipenuhi dengan peralatan rumah yang mahal serta pelbagai kitab agama. Di situ juga kaum Yahudi berkumpul dan berbincang juga bersumpah dengan kitab suci mereka ketika melakukan sesuatu perjanjian atau muafakat. Madinah dikelilingi banyak gunung-gunung batu Harrah yang menjadi benteng pertahanan dari serangan musuh. Di sebelah utaranya terbuka untuk lintasan sementara lintasan lainnya dibentengi oleh pohon-pohon kurma yang tebal yang tidak mampu dilalui oleh tentera kecuali mengikut jalan-jalan sempit yang tidak sesuai bagi perjalanan tentera dan mengatur barisan.
Bahagian-bahagian yang berhutan tebal dengan pohon-pohoin kurma itu merupakan tempat kawalan tentera yang tersembunyi dan cukup untuk mengkucar-kacirkan barisan tentera musuh dan menghalangnya daripada membuat serangan. Alam asli telah menjadikan Yathrib tanah lahar muntahan gunung berapi yang menjadikan buminya amat subur selain banyak jeram dan kawasan lembah yang dapat dapat menampung air bagi perairan kurma dan tanaman lain.
Wadi menjadi tempat rekreasi Madinah di mana dari wadi ini mengalir air ke ladang. Selain itu tanah Yathrib begitu sesuai untuk digali sumur dalam ladang-ladang. Keadaan Agama dan Kedudukan Kemasyarakatan di Madinah Umumnya semua bangsa Arab mengikut pegangan agama kaum Quraisy dan penduduk Mekah memandang mereka sebagai penjaga Ka’abah dan juga sebagai pemimpin dalam agama dan sebagai panutan dalam aqidah dan peribadatan. Mereka menyembah berhala Cuma hubungan mereka dengan sebahagian berhala seperti Manat lebih daripada yang lain terutama kaum Aus dan Khazraj. Sebuah hadith riwayat Imam Ahmad dari ‘Urwah daripada Sayyidatina ‘Aisyah yang menafsirkan ayat 158 surah al-Baqarah yang bermaksud: Sesungguhnya berjalan antara Sofa dan Marwah itu sebahagian tanda-tanda taat kepada Allah maka sesiapa yang mengerjakan haji di Baitullah atau mengerjakan umrah, maka tiada kesalahan ia berulang alik di dua tempat itu. Kata Sayyidatina ‘Aisyah mengenai ayat ini, maksudnya: Kaum Ansar sebelum memeluk Islam memuja berhala Manat yang rupanya garang di mana mereka sembah di Musyallal. Ada di antara mereka memuja berhala itu keberatan untuk bersa’ie di Sofa dan Marwah.
Mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Wahai Rasulullah! Kami keberatan untuk bersa’ie di Sofa dan Marwah pada masa jahiliyah dahulu”.
Lalu Allah menurunkan ayat di atas. Penduduk Madinah tidak menyembah patung berhala secara meluas tidak seperti di Mekah dan sebenarnya orang-orang Madinah menyembah berhala hanya mengikut orang-orang Mekah. Warga Madinah mempunyai dua hari perayaan iaitu hari Nauruz dan Maharjan yang mereka ambil daripada orang-orang Parsi untuk bersuka-suka tetapi setelah kedatangan Islam ia dihapuskan. Keadaan Ekonomi dan Peradaban di Madinah Bandar Yathrib atau Madinah merupakan bumi pertanian di mana kebanyakan penduduknya bergantung kepada hasil bertani dan berladang di mana hasil utamanya ialah kurma dan anggur. Pohon kurma banyak kegunaannya iaitu buahnya dijadikan makanan, batangnya dijadikan bahan bangunan, perusahaan kayu, bahan bakar dan makanan binatang ternak. Jenis bijian yang merupakan makanan asas penduduk Yathrib ialah barli kemudian gandum dan juga banyak ditanam sayuran. Bagi mereka ada cara bertani, sewa tanah, Muzabanah iaitu menjual kurma yang masih ditandannya dengan kurma yang sudah ditimbang dengan taksiran, Muhaqalah iaitu menjual hasil tanaman barli atau gandum yang masih ditangkainya dalam ladang juga dengan taksiran, Mukhabarah dan Muzara’ah di mana kedua-duanya hampir sama iaitu pembahagian hasil tanaman antara pengusaha dengan tuan tanah sepertiga atau seperempat tetapi benih diberikan oleh tuan tanah kepada pengusaha tanaman itu.
Mukhabarah ialah benih yang disediakan sendiri oleh pengusaha manakala Mu’awanah pula ialah penjualan hasil buahan selama 2 atau 3 tahun atau pun lebih. Mata uang di Mekah dan Madinah adalah sama. Dalam urusan jual beli banyak digunakan taksiran/sukatan di Madinah berbanding di Mekah kerana penduduk Madinah banyak bergantung kepada bijian dan buahan. Kesuburan tanah Madinah masih tidak mampu menampung keperluan makanan penduduknya yang menyebabkan mereka mengimport tepung putih, minyak sapi dan madu dari Syam. Kegiatan perniagaan memang ada walau pun tidak sehebat penduduk Mekah di mana warga lembah tanpa tanaman dan tanpa air yang mencukupi maka mereka bergantung hidup kepada aktivititas perdagangan pada musim panas dan musim sejuk. Ada perusahaan pertukangan di Madinah yang kebanyakannya diusahakan oleh kaum Yahudi di mana pada umumnya Yahudi bani Qainuqa’ adalah tukang emas. Ada beberapa pasar di Madinah milik bani Qainuqa’ menjadi pusat jual beli barang perhiasan dari emas begitu juga pasar jualan bijih-bijih benih.
Kaum Yahudi sebagaimana diketahui lebih kaya daripada bangsa Arab di mana Arab dengan sifat kekampungan dan kurang berfikir serta boros dengan uang memaksa mereka bergadai dengan kaum Yahudi yang kebanyakkannya gadaian itu dikenakan riba berlipat ganda. Warga Madinah juga mempunyai harta kekayaan berupa unta, lembu dan kambing di mana mereka gunakan unta untuk pengairan tanaman. Beberapa padang ragut kepunyaan mereka di mana dari situlah mereka mendapatkan kayu api disamping mengembala binatang ternakan. Madinah menjadi penghasil tenunan dari kapas dan sutera, bantal sandar beraneka warna dan tabir-tabir yang berlukis. Selain itu banyak peniaga minyak wangi menjual atar dan kasturi serta anbar dan raksa. Cara-cara jual beli pada masa itu ada yang dilanjutkan oleh Islam dan ada yang dilarang seperti amalan menyorok barang, lelangan barangan di mana diberikan kepada mereka yang menawarkan harga paling tinggi, menyambut dan menemui penunggang-penunggang di luar Madinah, menjual susu yang masih berada dalam unta atau kambing, menjual dengan bayaran bertangguh, menjual dengan agak-agak sahaja dan lain-lain. Ada juga kaum Aus dan Khazraj yang berurusan dengan riba tetapi jarang berbanding kaum Yahudi.
Warga Madinah juga membuat kerja menjahit, menyamak kulit, membina rumah, mengukir dan sebagainya yang terkenal di masa sebelum hijrah. Wallahu ‘alam bish shawwab.
Jakarta, 17 Februari 2017. Di copas dari. “Wahai saudaraku! Jangan engkau dekati Muhammad itu. Dia orang gila. Dia pembohong.
Dia tukang sihir. Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya dan engkau akan menjadi seperti dia,” kata seorang pengemis buta Yahudi berulang-ulang kali di satu sudut pasar di Madinah pada setiap pagi sambil tangannya menadah meminta belas orang yang lalu-lalang. Orang yang lalu-lalang di pasar itu ada yang menghulurkan sedekah kerana kasihan malah ada juga yang tidak mempedulikannya langsung. Pada setiap pagi, kata-kata menghina Rasulullah SAW itu tidak lekang daripada mulutnya seolah-olah mengingatkan kepada orang ramai supaya jangan terpedaya dengan ajaran Rasulullah SAW. Seperti biasa juga, Rasulullah SAW ke pasar Madinah. Apabila baginda sampai, baginda terus mendapatkan pengemis buta Yahudi itu lalu menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lembut dan bersopan tanpa berkata apa-apa. Pengemis buta Yahudi yang tidak pernah bertanya siapakah yang menyuapkan itu begitu berselera sekali apabila ada orang yang baik hati memberi dan menyuapkan makanan ke mulutnya.
Perbuatan baginda itu dilakukannya setiap hari sehinggalah baginda wafat. Sejak kewafatan baginda, tidak ada sesiapa yang sudi menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu setiap pagi. Pada satu pagi, Saidina Abu Bakar ra pergi ke rumah anaknya, Siti Aisyah yang juga merupakan isteri Rasulullah SAW untuk bertanyakan sesuatu kepadanya.
“Wahai anakku Aisyah, apakah kebiasaan yang Muhammad lakukan yang aku tidak lakukan?”, tanya Saidina Abu Bakar ra sebaik duduk di dalam rumah Aisyah. “Ayahandaku, boleh dikatakan apa sahaja yang Rasulullah lakukan, ayahanda telah lakukan kecuali satu,” beritahu Aisyah sambil melayan ayahandanya dengan hidangan yang tersedia. “Apakah dia wahai anakku, Aisyah?” “Setiap pagi Rasulullah akan membawa makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi di satu sudut di pasar Madinah dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Sejak pemergian Rasulullah, sudah tentu tidak ada sesiapa lagi yang menyuapkan makanan kepada pengemis itu,” beritahu Aisyah kepada ayahandanya seolah-olah kasihan dengan nasib pengemis itu.
“Kalau begitu, ayahanda akan lakukan seperti apa yang Muhammad lakukan setiap pagi. Kamu sediakanlah makanan yang selalu dibawa oleh Muhammad untuk pengemis itu,” beritahu Saidina Abu Bakar ra kepada anaknya. Pada keesokan harinya, Saidina Abu BAkar ra membawakan makanan yang sama seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan untuk pengemis itu sebelum ini. Setelah puas mencari, akhirnya beliau bertemu juga dengan pengemis buta itu.
Saidina Abu Bakar ra segera menghampiri dan terus menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu. “Hei Siapakah kamu? Berani kamu menyuapku?” Pengemis buta itu mengherdik Saidina Abu Bakar ra.
Pengemis buta itu terasa lain benar perbuatan Saidina Abu Bakar ra itu seperti kebiasaan. “Akulah orang yang selalu menyuapmu setiap pagi,” jawab Saidina Abu Bakar ra sambil memerhatikan wajah pengemis buta itu yang nampak marah. Kamu bukan orang yang selalu menyuapku setiap pagi. Perbuatan orang itu terlalu lembut dan bersopan. Aku dapat merasakannya, dia terlebih dahulu akan menghaluskan makanan itu kemudian barulah menyuap ke mulutku.
Tapi kali ini aku terasa sangat susah aku hendak menelannya,” balas pengemis buta itu lagi sambil menolak tangan Saidina Abu Bakar ra yang masih memegang makanan itu. “Ya, aku mengaku. Aku bukan orang yang biasa menyuapmu setiap pagi.
Aku adalah sahabatnya. Aku menggantikan tempatnya,” beritahu Saidina Abu Bakar ra sambil mengesat air matanya yang sedih. “Tetapi ke manakah perginya orang itu dan siapakah dia?”, tanya pengemis buta itu.
“Dia ialah Muhammad Rasulullah. Dia telah kembali ke rahmatullah. Sebab itulah aku yang menggantikan tempatnya,” jelas Saidina Abu Bakar ra dengan harapan pengemis itu berpuas hati. “Dia Muhammad Rasulullah?”, kata pengemis itu dengan suara yang terkedu. “Mengapa kamu terkejut? Dia insan yang sangat mulia,” beritahu Saidina Abu Bakar ra.
Tidak semena-mena pengemis itu menangis sepuas-puasnya. Setelah agak reda, barulah dia bersuara. “Benarkah dia Muhammad Rasulullah?”, pengemis buta itu mengulangi pertanyaannya seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya itu. Kamu tidak percaya?” “Selama ini aku menghinanya, aku memfitnahnya tetapi dia sedikit pun tidak pernah memarahiku malah dia terus juga menyuap makanan ke mulutku dengan sopan dan lembut.
Sekarang aku telah kehilangannya sebelum sempat memohon ampun kepadanya,” ujar pengemis itu sambil menangis teresak-esak. “Dia memang insan yang sangat mulia. Kamu tidak akan berjumpa dengan manusia semulia itu selepas ini kerana dia telah pun meninggalkan kita,” beritahu Saidina Abu Bakar ra. “Kalau begitu, aku mahu kamu menjadi saksi.
Aku ingin mengucapkan kalimah syahadah dan aku memohon keampunan Allah,” ujar pengemis buta itu. Selepas peristiwa itu, pengemis itu telah memeluk Islam di hadapan Saidina Abu Bakar ra. Keperibadian Rasulullah SAW telah memikat jiwa pengemis itu untuk mengakui ke-Esaan Allah. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa sebagai berikut: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah.
Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”. Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali.
Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”,( kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran untuk berpoligami. Dan lagi pada kenyataannya poligami telah dikenal dan dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami. Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan hal tersebut. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya.
Itupun dengan syarat yang tidak mudah dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua istri dan anak yang dimilikinya, secara adil. Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ” jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran berbuat tidak adil terhadap istri maupun anaknya. “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129). Dengan demikian jelas Poligami hanya kebolehan, bukan sunah apalagi kewajiban. (Sebagai catatan tambahan, jangankan poligami, menikah dengan satu orangpun tidak selamanya hukumnya wajib.
Ada beberapa penyebab haramnya menikah bagi seseorang). Dan lagi bila alasannya ingin meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau lebih lama ber-monogami daripada ber-poligami. Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat sang istri. Padahal usia rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40 tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat dan tradisi yang berlaku pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, yaitu pada periode Madinah, periode yang penuh peperangan.
Jadi sungguh mustahil bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat derajat perempuan-perempuan yang kehilangan suami. Bahkan sebenarnya, Allah swt telah memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi perempuan manapun yang beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang hanya diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun kenyataannya Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena beliau tahu persis betapa sulit dan beratnya tanggung jawab sebagai seorang suami.